Selasa, 18 Februari 2020

Studio Gamplong, Tempat WIsata Baru di Yogyakarta

Tanggal 10 November 2019 lalu saya berkesempatan mengunjungi Studio Gamplong di Yogyakarta. Itu loh lokasi syuting film punyanya Hanung Bramantyo yang menjadi lokasi syuting film-film keren Tanah Air mulai dari Sultan Agung, Habibie Ainun dalm film yang terbaru Bumi Manusia. Walau baru diresmikan tahun 2018 lalu, sebenarnya Studio Gamplong ini sudah mulai dibangun sejak Oktober 2017 lalu untuk keperluan syuting film Sultan Agung, Nah pembangunan Studio Gamplong ini tak lepas dari inisiasi pihak Mooryati Soedibyo, yang ingin berkontribusi bagi bangsa dengan menghadirkan sebuah film bertemakan sejarah. Nah dibangunlah Studio Gamplong diatas tanah seluas 2 hektar, dengan bangunan abad 16 dan 17 untuk menunjang proses syuting. Walau diperuntukkan untuk syuting, namun lokasi Studio Gamplong memang dari awal diperuntukkan untuk umum.

Benteng yang terdapat di dalam Studi Gamplong

Studio Gamplong yang juga dijuluki sebagai Mini Hollywood ini berada di Kampung Gamplong, Sleman Yogyakarta. Berlokasi 16 Km dari Pusat Kota Yogyakarta, dengan waktu tempuh lebih kurang 50 menit berkendara. Tidak ada tarif khusus untuk masuk Studio Gamplong, kita hanya perlu membayar seikhlasnya. Namun jika pengunjung ingin masuk ke  Museum Bumi Manusia yang baru saja diresmikan Agustus lalu, pengunjung harus membayar Rp. 10.000. Di Museum Bumi Manusia terdapat rumah Nyai Ontosoroh, delman Darsam, gerobak susu dan lain-lain. Namun pengunjung hanya diizinkan mengeksplorasi lantai satu dari rumah ibunya Anneliese tersebut.

Rumah Anneliese tampak belakang

Bagi pengunjung yang membawa kamera ke dalam Lokasi Gamplong, wajib membayar kontribusi sebesar Rp. 10.000 untuk mendapatkan permit access. Jika ketahuan membawa kamera namun tidak memiliki permit access, pengunjung akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000. jadi mending bayar kan, ah lagipula 10.000 ngga sebanding kok dengan foto bagus yang bisa kamu pamerkan di media sosialmu hehe.




Di dalam lokasi Studio Gamplong, saya seakan dibawa kembali ke masa dulu dengan bangunan-bangunan model dulu beserta cara penulisan yang terdapat di tiap bangunan. Rasanya keren saja gitu berjalan-jalan dengan pemandangan yang biasanya saya saksikan di dalam film hehe. Semua lokasi bisa jadi spot foto yang keren menurut saya, hanya saja yaa pengunjungnya ramai sekali. Salah saya sih datang ketika weekend hehe. Atau mungkin karena masih baru juga, jadi antusiasme masyarakat masih membludak. Waktu terbaik mengunjungi Studi Gamplong menurut saya sore hari, karena tidak terlalu panas dan sinar matahari juga sudah ramah untuk berfoto hehe. Jadi apa lagi nih yang mau kalian ketahui soal Studio Gamplong? Sudah semua? Kalau begitu kapan mau main ke Studio Gampong?

Sabtu, 07 Desember 2019

Literasi Digital Sebagai Alat dalam Menghalau Ancaman Non Militer

Ancaman Non Militer
Perubahan itu merupakan suatu keniscayaan, sesuatu yang pasti akan terjadi tanpa bisa kita hindari. Seiring berjalannya waktu, perubahan kerap muncul dalam kehidupan kita. Begitu juga yang terjadi dengan perubahan dalam karakteristik ancaman yang dihadapi suatu Negara. Jika dahulu karakteristik ancaman yang dihadapi dalam bentuk fisik, namun sekarang tidak lagi. Saat ini ancaman yang paling sering muncul justru ancaman dalam bentuk non fisik. 
Negara sendiri mengatur jenis ancaman menjadi dua, yang diatur dalam Undang-Undan No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Bahwa secara garis besar ancaman dibagi menjadi dua. Yaitu ancaman militer dan non militer. Jika ancaman militer adalah ancaman yang berbentuk fisik, maka ancaman non militer adalah ancaman dalam bentuk non fisik.
Lebih lanjut, Suryokusumo menjelaskan, bahwa ancaman non militer adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor non militer yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan Negara, dan keselamatan bangsa. Ancaman non militer dapat berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi serta keselamatan umum (2016:39).
Seperti namanya, ancaman non militer. Ancaman ini juga paling banyak bersinggungan dengan masayarakat sipil (non militer) dalam prakteknya. Walau dalam setiap ancaman memang warga sipil sebagai bagian dari masyarakat Negara, adalah objek yang paling rentan untuk menjadi target ancaman. Namun dalam prakteknya ancaman non militer langsung bersinggungan dengan masyarakat sipil, dan tak jarang tanpa melibatkan unsur militer di dalamnya.
Tulisan ini akan fokus terhadap satu dimensi dari beberapa dimensi ancaman non militer yang sudah disebutkan di atas, yaitu ancaman non militer berdimensi teknologi dan informasi. Perkembangan zaman yang semakin pesat dapat dilihat dari cepatnya penyebaran suatu infomasi. Kemudahan akses internet berimplikasi terhadap kecepatan dalam mendapatkan berita bagi masyarakat Indonesia. Namun percepatan penyebaran informasi saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi Negara. Permasalahannya semua informasi yang tersebar belum jelas validitas kebenarannya.
Kecepatan ini seringkali membawa problem terkait dengan kualitas informasi khususnya dalam hal akurasi dan kedalaman informasi. Informasi dalam media sosial sangat mudah di dapat, instan dan seringkali tidak akurat. Sebagai medium lalu lintas informasi, media sosial selama ini hanya mengejar kecepatan, kebaharuan dan kadang mengabaikan verivikasi sebagai dasar akurasi informasi (Aspikom, 2017).
Saat ini untuk menyebarkan informasi ke ratusan bahkan ribuan orang, hanya perlu satu sentuhan kecil di smarthphone kita. Maka semua infomasi yang kita inginkan bisa kita sebar. Mudahnya akses penyebaran informasi tersebut tak selalu bermakna positif, karena nyatanya banyak oknum yang memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Dimana kepentingan mereka terkadang bertentangan dengan tata cara berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkadang bahkan informasi yang disebar adalah informasi yang tidak benar dan justru menimbulkan chaos di masyarakat. Sebut saja berita hoaks yang banyak sekali berseliweran di masyarakat. Berita-berita hoaks tersebut tak jarang menimbulkan kegaduhan di dalam masyarakat karena misalnya mengandung isu SARA atau propaganda yang dapat memecah persatuan bangsa. Hal tersebut kalau terus dibiarkan akan menjadi ancaman non militer yang serius karena dapat menimbulkan perpecahan dan mungkin perang antar masyarakat.
Masalah lain dari tidak terkontrolnya persebaran informasi yang bersifat propaganda atau hoaks adalah, menjadi terkotak-kotaknya masyarakat berdasarkan kelompok, suku, ras, dan agama. Hal tersebut justru menjadi batu sandungan kita dalam merealisasikan Bhineke Tunggal Ika. Sudah dapat diprediksi, perpecahan hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan cita-cita persatuan dan kesatuan Indonesia akan semakin sulit untuk dicapai.

Pertahanan Non militer
Ancaman non militer dapat dihalau dengan pertahanan non militer juga. Secara defenisi, pertahanan non militer adalah pertahanan yang dilakukan oleh orang sipil (bukan personil milter), dengan menggunakan cara berjuang sipil (bukan cara militer maupun para militer) untuk menghadapi utamanya segalam macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan non militer (Suryokusumo, 2016:26).
Penggunaan media sosial dan penyebaran infomasi hoaks lebih banyak tersebar di kalangan masyarakat sipil. Karena informasi di media sosial mengalir bagai bola salju, makin lama menggelinding semakin besar. terlepas dari berita yang disampaikan benar atau tidak. Nah di sinilah perlunya literasi sosial bagi masyarakat dalam memilah informasi yang terdapat di media sosial. 

Literasi Digital
Literasi Digital menurut Paul Gilster (1997) adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti computer. Secara sederhana begini, Literasi digital itu adalah kemampuan kita dalam mengolah semua informasi yang kita dapat melalui media sosial atau jaringan internet lainnya. 
Sumber: https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/infografis-literasi-digital/
Jadi literasi digital dapat dikatakan sebagai upaya pertahanan non militer untuk menghindari ancaman non militer, dalam menghalau menyebarnya informasi hoaks. Dimana informasi hoaks tersebut dapat memecah belah bangsa dan menciptakan kegaduhan yang bisa mengakibatkan perang antar saudara dalam masyarakat.
Sedari dulu, saya paling suka dengan slogan smarphone for smart people. Menurut saya itu bukanlah slogan biasa, namun banyak makna yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya smartphone di tangan kita, seharusnya bisa memberikan efek positif dalam kehidupan kita. Misalnya dari hal kecil seperti tidak meneruskan berita yang belum jelas kebenarannya, terlebih berita yang bisa menimbulkan kepanikan dan kekacauan.
Menurut saya budaya membaca yang minim menjadi salah satu masalah terbesar dalam  literasi digital terhadap masyarakat pada umumnya. Karena budaya membaca akan berimplikasi terhadap tinggi rendahnya daya kritis dan rasa ingin tahu seseorang. Ketika sudah dimodali dengan daya kritis dan rasa ingin tahu yang besar, masyarakat harusnya bisa lebih bijaksana lagi dalam memproses informasi yang dia peroleh.
Edukasi dalam literaasi digital menurut saya menjadi tugas kita semua, seluruh elemen bangsa. Masing-masing dari kita seharusnya sudah bisa menjadi agent of changes dalam mengedukasi literasi digital bagi orang lain. Hal tersebut bisa dimulai dari orang terdekat kita sendiri, terutama keluarga. Keluarga adalah komponen terkecil yang diharapkan bisa menjadi target kita pertama sebagai agent of change. Bisa dimulai dari group keluarga atau ketika diskusi ringan dengan keluarga.
Namun sebelum menjadi agent of change bagi orang lain, hendaknya kita sudah selesai dahulu dengan diri kita. Edukasi diri kita sendiri terlebih dahulu tentang literasi digital. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengelilingi diri kita bersama orang-orang yang bisa memberikan pengaruh positif terhadap kita. Contohnya dengan masuk di komunitas, kelompok atau klub yang sesuai dengan minat kita.
Kubbu BPJ (Klub Blogger dan Buku Backpacker Jakarta) merupakan salah klub yang berada dalam komunitas Backpacker Jakarta. Selain membagikan informasi terkait jalan-jalan, buku dan blogger, kubbu.net juga concern akan pentingnya literasi digital. Hal tersebut bisa dilihat dari Karnaval Kubbu kali ini mengangkat tema salah satunya mengenai literasi digital. Kubbu secara khusus ingin mengajak anggotanya untuk mengkampanyekan literasi digital, dan secara umum ingin mengajak seluruh masyarakat agar melek literasi digital.
Pemerintah melaui lembaga-lembaga dan kementerian-kementeriannya juga sudah bergerak dalam mengkampenyakan literasi digital. Ketika semua pihak sudah saling bekerjasama dalam mengkampenyekan serta dapat mengaplikasikan literasi digital, kebocoran informasi dan hoaks seharusnya tidak perlu terjadi lagi. Dan semoga dengan bekerjasamanya semua pihak, cita-cita leluhur bangsa demi terciptanya Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat dapat tercapai.


Daftar Pustaka
Surokim dkk. Turn Back Hoack: Tantangan Literasi Media Sosial. 2017. Buku Litera. Malang
Suryanto Suryokusumo dkk. Konsep Sistem Pertahanan Nonmiliter; Suatu Sistem Pertahanan Komplemen Sistem Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta. 2016. Yayasn Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia

Sabtu, 16 November 2019

Partner Travelling



Saya tidak pernah punya teman travelling sebelumnya sampai saya bertemu dengan Len. Lelaki Belanda yang saya temukan di pinggir jalanan Kei (Bahasanya kaya kasar ya, tapi emang iya heyyy. Saya menemukannya!). Saya menasbihkan diri saya sebagai solo travelling karena menurut saya akan ribet jika travelling dengan orang lain, apa lagi jika saya memakai metode backpacker.
Setelah pertemuan saya dengan Len di Kei, kita berjanji akan bertemu di Ambon untuk kemudian menentukan arah perjalanan kita selanjutnya. Awalnya kita akan pergi ke Papua saja, ke Korowai lebih tepatnya. Saya sangat ingin mengunjungi rumah masyarakat pedalaman yang berada puluhan meter di atas tanah. Di satu sisi saya juga sudah berkomunikasi dengan teman asal Jerman (Julian namanya) yang sudah berada si Jayapura, Papua. Dia sedang melakukan visa run hehehehe.
Diskusi-riset-diksusi-riset akhirnya kami memutuskan untuk membatalkan kepergian kami ke Korowai dengan alasan keselamatan. Julian tidak menyarankan saya untuk mengunjungi Korowai dengan alasan saya perempuan berhijab. Saya bisa mengunjungi Korowai jika saya rela membuka hijab saya. Well, menurut Julian Pendeta yang 'menjaga' masyarakat Korowai cukup fanatik. Bahkan Julian saja mengaku sebagai protestan padahal dia seorang katolik.

Kemudian kami sempat memutuskan untuk ke Manokwari atau Sorong. Tapi ternyata kami terkendala waktu. Intinya kami hanya memiliki waktu seminggu. Ah sayang sekali jika pergi ke Papua hanya seminggu, sudahlah mahal dan hanya bisa sebentar. Akhirnya setelah berfikir ekstra, kami (saya sih sebenernya, karena kata Len 'I will follow where ever you go) memutuskan untuk pergi ke Toraja. Pun kami sudah bosan melihat laut laut dan laut, jadi mari kita berkelana di dataran tinggi. Dan  Sulawesi yang paling possible.

Kami sampai di Makassar ketika matahari sedang terik-teriknya. Saya sebelumnya sudah menghubungi rakyat saya yang tinggal di Makassar tentang kedatangan saya (Well saya adalah presiden yang punya beberapa rakyat dan tersebar di seluruh Indonesia haha). Tak lama menunggu di bandara, rakyat saya datang dan kami langsung meninggalkan bandara. Makan Coto Makassar adalah kegiatan selanjutnya yang kami lakukan. Selesai makan, kami langsung ke pool bus untuk membeli tiket bus yang akan membawa kami ke Toraja.
Kami masih punya banyak waktu sebelum jadwal keberangkatan ke Toraja, Bangsawan (rakyat saya bernama awal Andi, dan saya memanggilnya Bangsawan) membawa kami ke Pantai Losari dan Benteng Rotterdam. Apalagi lokasi kedua tempat tersebut sangat dekat, jadi akan sangat memudahkan para traveller yang memiliki waktu sedikit namun tetap ingin mengunjungi tempat wisata di Makassar.
Singkat cerita, jam 9 malam kami berangkat ke Toraja. Oh ya, setiap hari ada dua jadwal keberangkatan ke Toraja. Jam 9 pagi dan jam 9 malam, dan jarak Makassar-Toraja memakan waktu 10 jam perjalanan. Demi alasan menghemat waktu, kami berangkat malam hari, sehingga bisa tidur di bus dan besok paginya langsung eksplore Toraja. Jangan khawatir busnya sangat nyaman. Sengan kursi besar, tersedia sandaran kaki, bantal bahkan selimut. Saya yakin tidur kalian akan nyenyak, saya saja nyeyak hehe.
Jam 6 kami sampai di Toraja, ketika bus berhenti beberapa orang naik ke bus menawarkan jasa. Yang paling menarik perhatian saya adalah 'Kakak sangat beruntung datang sekarang, kebetulan sedang ada yang meninggal' Nah loh. Yep, di Toraja terdapat dua hajat akbar, ketika manusia menikah dan meninggal. Jika yang meninggal merupakan keluarga kaya, akan diadakan secara besar-besaran. Dan kami ternyata sedang beruntung karena ada seorang Nenek kaya yang baru saja meninggal. Tapi saya abaikan Bapak tersbut karena saya belum sholat dan sedang kebelet. Yang kemudian saya lakukan adalah mencari mesjid (susah pake banget) dan toilet.

Selesai sholat shubuh yang terlambat, kami mencari sarapan. Hemmm mencari makanan adalah aktivitas yang sangat susah di Toraja, karena saya muslim dan rata-rata makanan di sini mengandung yang haram bagi saya hehe. Namun ada beberapa restoran atau rumah makan halal kok di Toraja, selama kita mau mencari.
 Selesai sarapan, kami mencari tempat peminjaman motor. Kami menyewa motor matic dengan biaya Rp. 80.000 selama 24 jam. Setelah mendapatkan motor dan mengisi bahan bakar, kami memulai perjalanan pertama. Mengunjungi upacara orang meninggal hehe. Sebelumnya sudah diberitahu oleh masyarakat bahwa sebaiknya kami membawa bingkisan jika ingin datang ke 'ngelayat' (saya tidak tau bagaimana harus mengistilahkannya). Maka saya membeli gula dan roti (hasil bertanya ke Ibu warung). Dan ternyata di lokasi ngelayat sudah banyak sekali orang, khusunya wisatawan. Wahh bener-bener menjadi tempat wisata. Pemandangan di depan saya seperti sedang Ied Qurban, hanya saja di sini yang bergelimpangan bukan sapi dan kambing. Melainkan Kerbau dan Babi -_-.  Puas melihat-lihat prosesi kematian dan menikmati suguhan yang disediakan (demi sopan santun saya harus memakannya, mereka bahkan mengatakan 'ini halal kok'), kami melanjutkan perjalanan
Berbicara tentang Toraja, ini adalah kali pertama saya pergi ke Toraja dan ini akan menjadi trip nekat saya yang lainnya. Ya saya punya kebiasaan nekat ketika trip, namun ini pertama kalinya saya mengorbankan seorang teman dalam perjalanan nekat saya hehe. Satu-satunya pedoman saya ketika ke Toraja hanyalah info trip yang di share di WAG Backpacker Jakarta (BPJ), dan itu berhasil (Terima Kasih BPJ). Lolai dan Ollon menjadi wishlist gue sedangkan Len lagi-lagi hanya follower, kemudian selama perjalanan kita berbagi tugas. Len yang menyetir dan saya yang menunjukkan arah dengan berkiblat kepada Google Map. Maka setelah wisata ngelayat, kami  mengunjungi Kete Kesu dilanjutkan ke Lomo dan Londai. Sore hari kami menuju Lolai karena malamnya kami akan menginap di sana, agar besok pagi bisa melihat sunrise dan kumpulan awan yang mengagumkan.

Dan keputusan untuk bermalam di Lolai itu ternyata keputusan yang tepat. Karena ternyata waktu terbaik untuk melihat kumpulan awan itu pada pukul 7 pagi, dimana saat itu orang-orang sudah meninggalkan Laloi sedangkan kami masih berada di sana untuk merapikan tenda.
Pergi ke Ollon adalah pengalaman yang paling ingin saya ceritakan kali ini, dan saya sangat bersyukur bahwa Len adalah partner travelling saya saat itu. Ollon itu adalah satu wilayah yang sangat indah namun memiliki akses perjalanan yang sangat sulit dan lokasinya tidak terdapat di Google Map. Perjalanan kami dari Toraja ke Ollon memakan waktu 4 jam lebih dengan medan yang sangat sulit dilalui jika menggunakan motor matic. Sebelum masuk Ollon terdapat tulisan ‘Ollon ±10 Km’ Namun 10 km tersebut kami lalui selama 1 jam lebih, kebayang kan bagaimana rute yang harus kami lalui. Bahkan ada masanya saya harus turun dari motor karena jalanan yang terlalu curam atau motor kami yang terpaksa harus melewati sungai. Belum lagi kondisi kami berdua yang masing-masing membawa keril, duh makin menambah beban perjalanan. Namun usaha tidak akan mengkhianati hasil, karena pemandangan di Ollon benar-benar indah. Teramat sangat indah. Saya merasa seperti sedang berada di Selandia Baru.
Len yang sell saga kepanasan
Menginap di Ollon satu malam, berburu sunrise dan kami melanjutkan perjalanan. Saya melihat di postingan Instagram salah satu teman tentang lokasi wisata yang terdapat ayunan yang menghadap ke tebing. Pemandangannya sangat indah dan menguji adrenalin. Maka saya mengajak Len ke sana, dan lagi-lagi dia ikut saja. Dari Ollon ke Enrekang kami harus menempuh perjalanan selama 3 jam. Itu perjalanan yang lebih berat lagi karena kami sama sekali tidak tahu lokasinya, berkali-kali kesasar walau sudah menggunakan  Google Map, udara yang sangat panas dan kami kelaparan sedangkn tidak menemukan warung makan. Sampai akhirnya kami menemukan warung, kami akhirnya makan di sana. Si Ibu warung memasak Indomie, ah dia bahkan tidak memasaknya, hanya mencelupkannya ke air panas hahahaha.

Akhirnya kami sampai di Enrekang, di tempat ayunan itu berada. Namun ternyata lokasi wisata itu sudah tidak ada lagi, kabarnya sudah pindah. Hanya terdapat seutas tali webbing yang diikat di sebatang pohon, tanpa pengamanan. Saya hanya melihat tanpa berani naik. Kemudian Len berkata,’Just try, if you fall you die’dan saya hanya mendelik. Melihat saya tidak merespon Len mencobanya sendiri, dan dia sangat menikmatinya. Demi melihat dia yang sangat menikmati berada di ayunan tali tersebut, saya pun minta gentian. Awalnya degdegan, lama-lama gamau turun hahahahaha.
Selesai dari Enrekang, kami kembali lagi ke Toraja untuk mengembalikan motor dan kembali pulang ke Makassar. Hari itu adalah hari terakhir kami ke Toraja, karena malamnya kami akan melanjutkan perjalanan ke Makassar. Ntah apes atau kurang sedekah, malam itu di bus menuju Makassar saya kehilangan hape saya berikut foto-foto saya selama dua bulan di Maluku dan 3 hari di Toraja dan Makassar. Syukurlah ada Len yang rajin mengabadikan moment saya di hapenya, jadi beberapa moment saya di Makassar dan Toraja masih aman di handphonenya. Selama 10 hari full travelling bersama Len saya baru sadar akan satu hal, punya partner travelling itu ternyata seru juga. Tapi pastikan kita cocok dengan partner travelling kita hehehe.


Minggu, 20 Oktober 2019

Kehabisan tiket kereta di situs Online? Coba datang langsung ke Stasiun.

Pernah kehabisan tiket kereta secara online ga? Cek di aplikasi semuanya habis? Well saya baru saja mengalaminya kemarin. Tapi akhirnya saya bisa dapat tiket kereta murah yang saya mau dengan datang langsung ke stasiun. Oh ya ini untuk tiket kereta jarak jauh ya.  Jadi ini kesimpulan yang bisa saya dapat hari dari pemburuan tiket hari ini.
1. Kuota tiket di aplikasi travel (Traveloka, Tiket.com) berbeda dengan website KAI/Aplikasi KAI (lebih gampang pake aplikasi KAI Access). Lebih banyak di website KAI. Pun ketersediaan tiket website KAI dengan mesin pembelian tiket di KAI berbeda.
Tadi saya cek di Aplikasi KAI sudah habis, akhirnya saya ke Stasiun Senen karena posisi sedang di Plaza Atrium. Dan ternyata tiket yang saya pengen (yang di website sudah habis) masih tersedia di mesin pembelian tiket.

2. Pembelian tiket di mesin tiket susah susah gampang, bukan susah dalam pengoperasian sistemnya. Tapi susah di touchscreennya. Kudu sabaaaarrrr banget, karena dia sensitif kaya pantat bayi (salah bedak doang merah) . Tapi ada petugas yang membantu kita dalam proses pembelian. Dan saya sarankan mending pake debit alih-alih pakai cash. Mesinnya manja dan pemilih, uang lecek dikit dia gamau terima soalnya :(. Lagipula biayanya sama-sama 7.500 ini. Oh ya dia bisa menerima semua debit, kecuali BCA. Mungkin dia anti asing.

3. Pembelian tiket ke petugas hanya bisa dilakukan pagi hingga jam 11 siang. Tapi pembelian tiket di mesin bisa dilakukan 24 jam. Tapi kalau pembelian tiket Go Show (24 jam sebelum keberangkatan) bisa via petugas.
So, semoga ini bermanfaat.

Selasa, 14 Mei 2019

Pertanyaan Paling Mengganggu di Dunia

Biasanya setiap anak manusia yang sudah berusia di atas 17 tahun pasti akan selalu mendapat pertanyaan yang diawali dengan kata 'kapan'. Kalau kebetulan kamu kuliah, akan ditanya 'Kapan selesai?/ Kapan wisuda?' Biasanya sih pada fase ini 'korban' masih bisa senyum senyum polos saja sambil jawab dengan penjabaran yang panjang. Itu kalau kamu masih di bawah  semester 8. Beda cerita kalau pertanyaan yang sama disampaikan kepada manusia yang berada pada fase semester 8 ke atas, atau yang dikenal dengan sebutan MA (Mahasiswa Abadi). Menjawabnya akan dengan embel-embel muka ketus.
Ketika kamu pada akhirnya menyelesaikan kuliah dan sudah di wisuda, akan muncul pertanyaan selanjutnya 'Kapan kerja?'. Pertanyaan yang sebenernya absurd banget sumpah. Dia siapa bertanya begitu, petugas sensus yang lagi menghitung jumlah pengangguran di Indonesia kah? Sabar dulu, pertanyaan itu akan berlanjut ketika kamu sudah bekerja. Akan muncul pertanyaan 'Kapan nih kita ditraktir gaji pertamanya?' biasa nanya sambil senyum senyum ga jelas. Pada fase ini emosi sudah sedikit mulai terpancing. 
Walau tidak semua orang bisa selancang itu untuk memberikan pertanyaan unfaedah macam itu.
Ketika dilihat kamu sudah bekerja, timbullah satu pertanyaan yang bisa bikin kamu emosi djiwa 'Kapan nikah?/Kapan kawin?' Kalau kebetulan pertanyaan ini dilontarkan kepada mereka yang memiliki pasangan, efeknya sih biasa-biasa saja. Lah kalau ditanyakan kepada mereka yang tidak memiliki pasangan, efeknya bisa dahsyat. Memancing keributan namanya. Belum lagi kalau ditanyakan ke mereka yang belum punya pasangan ditambah embel-embel sudah berumur. Wahhh sekelas Thanos saja bisa babak belur sepertinya.

Saya pribadi, masih ga terlalu paham apa sih fungsinya orang lain menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Dulu, saya pernah tau satu cerita yang terjadi terkait hal ini. Seorang temen (perempuan) marah sampai left group dan curhat di fasilitas umum perihal hal ini. Iya, perihal pertanyaan 'Kapan nikah?'. Ketika saya diceritakan masalahnya lewat satu kubu (kubu sipenanya), saya juga beranggapan 'Yaelah kok lebay banget sih, begituan doang juga'. Sampai akhirnya I put my mind in her (yang ditanya) shoes, finally I know why she was angry. Kita memang tidak boleh langsung menjudge seseorang seenak udel kita tanpa tau cerita sesungguhnya dan mendengarkan alasannya. Jadi yang ditanya ini adalah perempuan yang sesungguhnya juga sangat teramat ingin menikah, hanya saja Allah belum mempertemukan dia dengan jodohnya. Di satu sisi si penanya datang dengan pertanyaan 'Kapan nikah?'nya dengan embel-embel yang menurut saya berlebihan. 
Yang bikin saya kaget kemudian adalah, pembelaan si penanya. Si penanya bilang dia bertanya hanya sekedar basa basi. WTF,  basa basi guys. Saya sih ga habis fikir. Kenapa basa basi harus masalah personal orang. Kenapa bukan common issues saja yang dijadikan pertanyaan basa basi mba (:
Seperti, kenapa ya PBB belum mengirimkan peacekeeping ke Suriah, padahal kondisinya sudah parah. Kapan ya Indonesia bisa swasembada pangan. Kenapa ya Xabiru anaknya Rachel Vennya itu sangat menggemaskan. Atau kenapa ya pulau Papua itu harus diujung Indonesia. Banyak kan pertanyaan lain yang bisa dijadikan bahan basa basi dari pada ngurusin hidup orang.
Well ini saya jadi absurd nih, kebawa emosi guys. Muehehehe
Sesungguhnya pertanyaan 'Kapan nikah?' itu belum selesai di situ. Setelah pada akhirnya kamu menikah kamu akan mulai ditanya, 'Kapan punya anaknya?'
Iya tau, selelah itu jadi manusia yang hidup dalam tatanan sosial yang super sangat ramah sampai tidak bisa membedakan mana yang harusnya jadi pembahasan privasi dan mana yang bukan. Tapi apakah mengganggu kenyamanan orang lain sudah menjadi hal biasa di masyarakat kita? Apakah mengurusi kehidupan personal orang lain menjadi suatu kebanggaan bagi kita? 
Menikah itu bukan sedang berlomba, bukan tentang siapa lebih cepat dari siapa.
Saya pernah tau cerita tentang orang yang menikah muda kemudian cerai, atau yang menikah lama tapi awet. Saya juga tau orang yang menikah cepat tapi lama memiliki keturunan dan ada yang menikah lebih lama tapi langsung memiliki keturunan. Ada juga yang begitu lulus kuliah langsung mendapatkan pekerjaan tapi dia tidak nyaman dengan pekerjaannya ada juga yang sebaliknya. Dan banyak contoh lainnya yang saya yakin ada di sekitar kita.
Itu semua hanya tentang waktu, karena semua orang akan bekerja kalau dia mau dan berusaha dan semua orang akan menikah kalau ada jodohnya.

Duta Kece Goes To Baduy Dalam via Jalur Cepat

Group WA adalah titik mula rencana perjalanan Baduy kami dimulai, Saya, Bapak, Moyo, Rendy, Cici dan Vera adalah enam orang dengan komitmen kuat untuk merealisasikan Trip Baduy yang sudah kami rancang dengan beberapa teman. Ya kehidupan itu memang selalu penuh dengan seleksi alam, banyak yang mengatakan akan ikut, namun pada akhirnya hanya kami berenam yang berangkat. Ngos-ngosan karena lari-larian di stasiun Tanah Abang yang saya lakukan adalah awal perjalanan kami. Saya, Vera, Rendy dan Moyo berangkat bersama dari Stasiun Tanah Abang untuk kemudian Bapak dan Cici mulai naik dari stasiun yang berada di Tangerang. Dua jam waktu perjalanan menuju Rangkas Bitung kami habiskan dengan menceritakan kisah orang lain, siapa saja orang itu selama bukan kami berenam semua akan kami bahas hingga tuntas, menyedihkan memang kehidupan anak muda kurang produktif yang suka ghibah :(
Ini perjalanan pertama saya ke Baduy dan juga menjadi perjalanan pertama saya dengan teman berkelompok. Selama ini jika ingin travelling, saya memang lebih memilih berjalan sendiri dibanding dengan teman. Alasannnya, karena menurut saya setiap orang memiliki kebiasaan, pemikiran dan pandangan yang berbeda. Saya mau liburan dan tidak mau dibuat ribet dengan hal-hal kecil seperti masalah kita makan apa atau tidur dimana. Jadi entah kenapa kali ini saya berminat pergi dengan orang lain, mungkin ini bagian dari konspirasi alam semesta.
Sebagai satu-satunya orang dalam kelompok yang memiliki rumah di perbatasan Baduy, Bapak otomatis didaulat menjadi tuan rumah yang merangkap menjadi tour leader dan navigator di saat bersamaan (rangkap jabatan plus plus). Kami berlima hanya tinggal mengikuti arahan dari Bapak.
Sesampainya di Stasiun Rangkas Bitung sebagai stasiun terakhir yang melayani kereta Commuter Line, kami melanjutkan perjalanan ke terminal yang kebetulan posisinya sangat dekat dengan stasiun. Setelah meletakkan barang bawaan ke mini bus yang akan kami gunakan menuju perbatasan Baduy, kami pergi makan dan belanja beberapa kebutuhan. Jajanan sudah dibeli dan perut sudah kenyang, saatnya menlanjutkan perjalanan . menggunakan mini bus dengan posisi duduk di belakang, kami melanjutkan perjalanan menuju Baduy. Kurang lebih satu setengah jam adalah waktu yang ditempuh dari Terminal Rangkas Bitung menuju Desa Parigi sebagai desa perbatasan Baduy yang juga desa tempat rumahnya Bapak berada. Normalnya sih orang-orang yang akan mengunjungi Baduy akan berhenti di Desa Ciboleger,  namun kalau berangkat ke Baduy dari Desa Ciboleger akan menghabiskan 6-8 jam perjalanan. Sedangkan kalau dari Cijahe hanya menghabiskan 3-4 jam perjalanan saja. Tapi jika berangkat dari Desa Cijahe kita tidak akan melewati jembatan akar, sebagai jembatan khas jika pergi ke Baduy.
Turun dari mini bus, kami beristirahat di rumah Bapak, di Parigi. Setelah makan siang dengan menu yang bikin nagih, sholat dan packing ulang barang, kami melanjutkan perjalanan kembali, kami harus bergegas karena waktu sudah semakin sore. Perjalanan selanjutnya kami menggunakan ojek motor dengan tarif 50k pergi dan pulang dari Parigi ke Cijahe sebagai desa perbatasan Baduy. Sampai di Cijahe sebagai desa yang menjadi akses cepat jika akan ke Baduy, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mengingat tidak diperbolehkannya penggunaan kendaraan di Baduy. Di perbatasan Baduy, kami langsung mencari penduduk local yang bersedia menjadi guide kami selama perjalanan. Hal tersebut penting mengingat kami merupakan pendatang dan untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Lokasi pemberhentian terakhir kami dengan ojek merupakan desa perbatasan Baduy dengan luar dan itu merupakan akses cepat menuju Baduy dalam, Desa Cijahe namanya.

Setelah satu jam berjalan kaki, kami akhirnya sampai di Baduy Luar. Kami langsung disambut pemandangan masyarakat Baduy yang mengenakan pakaian hitam serta rumah-rumah masyarakat Baduy yang terbuat dari anyaman. Jalanan menanjak tanah merah serta jalanan dengan batu adalah pemandangan yang ada di Baduy Luar. Menyapa sebentar masyarakat Baduy Luar dan mengambil beberapa foto dengan latar belakang rumah masyarakat Baduy, adalah kegiatan yang kami lakukan sambil menunggu guide yang pulang sebentar ke rumahnya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan sesungguhnya dengan medan yang lebih keras lagi, perjalanan ke suku Baduy Dalam.
Perjalanan yang sesungguhnya baru saja dimulai, tracking ke ke Desa Suku Baduy Dalam. Demi keamanan, kami mengatur formasi perjalanan dengan meletakkan para perempuan di tengah dan laki-laki di belakang. Saya sangat mengapresiasi para lelaki yang ada di kelompok kami, dimulai dari Bapak yang bersedia membawa tas Cici demi meringankan beban Cici. Juga Moyo yang selalu sigap menjaga Cici dan Rendy yang baru saya sadari sebenernya tidak melakukan apa-apa tapi saya yakin dia siap siaga. Oh ya jangan lupakan Vera, walau dia perempuan tapi dia sudah terbiasa naik gunung. Jadi dia lebih siap dibandingkan saya dan Cici.
Setelah berjalan selama satu jam, kami istirahat guna menghilangkan sedikit lelah di sebuah gubug yang kosong. Memakan cemilan sambil mengisi ulang tenaga. Kondisi sudah sedikit gelap dan langit sudah mendung. Setelah istirahat secukupnya, kami melanjutkan  kembali perjalanan. Gelap mulai menghampiri bumi pertanda posisi matahari sudah diganti oleh bulan dan kami masih harus melanjutkan perjalanan. Sudah mau memasuki desa Baduy Dalam, saat langit tidak lagi mampu membendung air yang menggenanginya dan hujan mulai turun. Kami berhenti sebentar di sebuah bangunan yang ternyata berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi masyarakat Baduy untuk menggunakan jas hujan. Selesai menggunakan jas hujan dan berjalan beberapa langkah, kemudian kejadiaan naas itu terjadi. Saya jatuh terpeleset menghantam tanah yang basah. Sakit dan malunya seimbang, masalahnya yang dijaga sekali agar tidak terjatuh itu adalah Cici namun mengapa saya yang terjatuh. Selesai saya bangun kembali, ledekan anak-anak tetap terdengar sampai kami akhirnya memasuki Baduy Dalam. Begitulah teman, meledek baru membantu. Ah saya baru ingat, mereka bahkan tidak membantu saya sama sekali. Saya bangun dan bersih-bersih sendiri -_-.
Setelah melewati satu sungai yang dihubungkan oleh sebuah jembatan, kami disambut dengan kerlip cahaya obor dari kejauhan. Kami memasuki perkampungan masyarakat Baduy Dalam. Malam itu ternyata sedang banyak orang yang berkunjung ke Baduy, jadi kami tidak dapat tidur di rumah Kepala Desa. Karena rumah Kepala Desalah yang biasanya dijadikan tempat orang luar jika ingin menginap di Baduy. Kami menginap di sebuah rumah masyarakat Baduy yang sangat ramah. Malam itu selesai bersih-bersih kami diajak makam malam bersama keluarganya dan ditawarin makan makanan mereka. Karena kami membawa bekal sendiri, akhirnya terjaid penyatuan makanan Baduy Dalam dan makanan luar. Selesai makan, kami menghabiskan waktu selama satu jam lebih untuk mengobrol. Wah ternyata Bapak pemilik rumah itu pernah diundang ke Istana oleh Presiden Jokowi, dan Bapak itu pernah menghabiskan waktu selama 3 hari berjalan kaki untuk pergi ke Bandung. Daebak!
Di Baduy saya merasa waktu berjalan lebih lama, ntah karena tidak ada elektronik dan semua terasa gelap atau karena hal lain. Malam itu kita merasa sudah sangat larut, namun ternyata baru pukul 9 Malam. Selesai mengobrol bersama dan membereskan sisa makan malam, para Bapak-Bapak yang mengobrol dengan kami pulang ke rumahnya masing-masing sedangkan kami bermain Uno. Oh ya Cici tidak ikut bermain Uno bersama kami, mungkin dia terlalu lelah. Dari awal sebelum berangkat ke Baduy, kami memang sudah berniat untuk bermain Uno, dan kami melakukannya. Kami bermain Uno hingga jam 12 lewat, perjalanan kami hari itu ditutup dengan selesainya kami bermain UNO dan Bapak yang saya yakin sedikit BT karena selalu kalah dan selalu mengambil kartu dalam jumlah banyak hahahahaOh ya, ternyata kalau malam Baduy itu dinginnya subhanallah, saya beberapa kali terbangun engah malam karena dingin dan juga merasa udah tidur untuk waktu yang lama. Like I said before, di Baduy waktu terasa berjalan lebih lama.
Shubuh tiba dan kita melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Tolong di highlight. BERJAMAAH. Saya rasanya makin kagum saja dengan tiga cowok-cowok ini haha. Kalian yang cewek kalau sedang mencari imam, boleh memasukkan nama mereka ke bursa calon imam idaman kalian muehehehe. Bapak, Moyo dan Rendy menemani dan menunggui saya dan Vera yang sedang ngambil wudhu, di kegelapan dan dinginnya udara shubuh serta tanah yang masih becek, kita beriringan jalan ke sungai karena tidak ada kamar mandi di Baduy. Semua aktivitas dilaksanakan di sungai. Sungai di bagi menjadi tiga bagian. Bagian paling hulu untuk kepala suku, kemudian di bawahnya buat kaum lelaki kemudian bagian perempuan dan yang paling hilir adalah tempat membuang air besar. Ada satu fakta menyebalkan yang saya tau diakhir, bahwa ternyata ketika saya dan Vera sedang membuang air kecil, ternyata Rendy juga melakukan kegiatan yang sama di hulu sungai. Dimana aliran dari hulu sungai akan datang ke kami. Ingin rasanya saya menceburkan Rendy, kenapa dia harus melakukan hajatnya di saat yang bersamaan dengan kami -_-.
Setelah sholat shubuh, kami melanjutkan tidur. Yap apalagi aktivitas yang mengasyikkan untuk dilakukan setelah tidur selain tidur hahaha. Walau kemudian Cici mengomel karena menurutnya kami membuang-buang waktu dengan hanya tidur-tiduran. Jam 7 pagi kami merapikan kembali baeang bawaan dan jam 8 kami pergi meninggalkan Baduy Dalam.Perjalanan pulang ternyata sama menantangnya dengan perjalanan pergi, namun lebih baik karena kali ini tanah kering dari embel-embel air hujan. Perjalanan pulang lebih lama dari perjalanan pergi, karena kami menghabiskan satu jam lebih untuk istirahat (ditambah ghibah) di gubung tempat kami istirahat ketika kami pergi ditambah kami juga menunggu Bapak yang tertidur. Sumpah dia tertidur hanya dalam hitungan detik. sungguh manusia pelor abadi!

Memasuki Baduy Luar kami semakin banyak bertemu dengan masyarakat asli Baduy, dan tentu saja berfoto adalah hal yang sudah pasti dilakukan. Tak terasa kami akhirnya sampai di perbatasan Baduy, dan selanjutnya kami menunggu ojek untuk kembali pulang ke rumah Bapak. Di rumah Bapak kami istirahat, makan makanan enak dan bersih-bersih. Jam 3 sore kami meninggalkan Baduy dengan mobil pribadi dan diantar langsung oleh saudara Bapak. Bye bye elf dan byebye Baduy. See you in another time :)