Sabtu, 16 November 2019

Partner Travelling



Saya tidak pernah punya teman travelling sebelumnya sampai saya bertemu dengan Len. Lelaki Belanda yang saya temukan di pinggir jalanan Kei (Bahasanya kaya kasar ya, tapi emang iya heyyy. Saya menemukannya!). Saya menasbihkan diri saya sebagai solo travelling karena menurut saya akan ribet jika travelling dengan orang lain, apa lagi jika saya memakai metode backpacker.
Setelah pertemuan saya dengan Len di Kei, kita berjanji akan bertemu di Ambon untuk kemudian menentukan arah perjalanan kita selanjutnya. Awalnya kita akan pergi ke Papua saja, ke Korowai lebih tepatnya. Saya sangat ingin mengunjungi rumah masyarakat pedalaman yang berada puluhan meter di atas tanah. Di satu sisi saya juga sudah berkomunikasi dengan teman asal Jerman (Julian namanya) yang sudah berada si Jayapura, Papua. Dia sedang melakukan visa run hehehehe.
Diskusi-riset-diksusi-riset akhirnya kami memutuskan untuk membatalkan kepergian kami ke Korowai dengan alasan keselamatan. Julian tidak menyarankan saya untuk mengunjungi Korowai dengan alasan saya perempuan berhijab. Saya bisa mengunjungi Korowai jika saya rela membuka hijab saya. Well, menurut Julian Pendeta yang 'menjaga' masyarakat Korowai cukup fanatik. Bahkan Julian saja mengaku sebagai protestan padahal dia seorang katolik.

Kemudian kami sempat memutuskan untuk ke Manokwari atau Sorong. Tapi ternyata kami terkendala waktu. Intinya kami hanya memiliki waktu seminggu. Ah sayang sekali jika pergi ke Papua hanya seminggu, sudahlah mahal dan hanya bisa sebentar. Akhirnya setelah berfikir ekstra, kami (saya sih sebenernya, karena kata Len 'I will follow where ever you go) memutuskan untuk pergi ke Toraja. Pun kami sudah bosan melihat laut laut dan laut, jadi mari kita berkelana di dataran tinggi. Dan  Sulawesi yang paling possible.

Kami sampai di Makassar ketika matahari sedang terik-teriknya. Saya sebelumnya sudah menghubungi rakyat saya yang tinggal di Makassar tentang kedatangan saya (Well saya adalah presiden yang punya beberapa rakyat dan tersebar di seluruh Indonesia haha). Tak lama menunggu di bandara, rakyat saya datang dan kami langsung meninggalkan bandara. Makan Coto Makassar adalah kegiatan selanjutnya yang kami lakukan. Selesai makan, kami langsung ke pool bus untuk membeli tiket bus yang akan membawa kami ke Toraja.
Kami masih punya banyak waktu sebelum jadwal keberangkatan ke Toraja, Bangsawan (rakyat saya bernama awal Andi, dan saya memanggilnya Bangsawan) membawa kami ke Pantai Losari dan Benteng Rotterdam. Apalagi lokasi kedua tempat tersebut sangat dekat, jadi akan sangat memudahkan para traveller yang memiliki waktu sedikit namun tetap ingin mengunjungi tempat wisata di Makassar.
Singkat cerita, jam 9 malam kami berangkat ke Toraja. Oh ya, setiap hari ada dua jadwal keberangkatan ke Toraja. Jam 9 pagi dan jam 9 malam, dan jarak Makassar-Toraja memakan waktu 10 jam perjalanan. Demi alasan menghemat waktu, kami berangkat malam hari, sehingga bisa tidur di bus dan besok paginya langsung eksplore Toraja. Jangan khawatir busnya sangat nyaman. Sengan kursi besar, tersedia sandaran kaki, bantal bahkan selimut. Saya yakin tidur kalian akan nyenyak, saya saja nyeyak hehe.
Jam 6 kami sampai di Toraja, ketika bus berhenti beberapa orang naik ke bus menawarkan jasa. Yang paling menarik perhatian saya adalah 'Kakak sangat beruntung datang sekarang, kebetulan sedang ada yang meninggal' Nah loh. Yep, di Toraja terdapat dua hajat akbar, ketika manusia menikah dan meninggal. Jika yang meninggal merupakan keluarga kaya, akan diadakan secara besar-besaran. Dan kami ternyata sedang beruntung karena ada seorang Nenek kaya yang baru saja meninggal. Tapi saya abaikan Bapak tersbut karena saya belum sholat dan sedang kebelet. Yang kemudian saya lakukan adalah mencari mesjid (susah pake banget) dan toilet.

Selesai sholat shubuh yang terlambat, kami mencari sarapan. Hemmm mencari makanan adalah aktivitas yang sangat susah di Toraja, karena saya muslim dan rata-rata makanan di sini mengandung yang haram bagi saya hehe. Namun ada beberapa restoran atau rumah makan halal kok di Toraja, selama kita mau mencari.
 Selesai sarapan, kami mencari tempat peminjaman motor. Kami menyewa motor matic dengan biaya Rp. 80.000 selama 24 jam. Setelah mendapatkan motor dan mengisi bahan bakar, kami memulai perjalanan pertama. Mengunjungi upacara orang meninggal hehe. Sebelumnya sudah diberitahu oleh masyarakat bahwa sebaiknya kami membawa bingkisan jika ingin datang ke 'ngelayat' (saya tidak tau bagaimana harus mengistilahkannya). Maka saya membeli gula dan roti (hasil bertanya ke Ibu warung). Dan ternyata di lokasi ngelayat sudah banyak sekali orang, khusunya wisatawan. Wahh bener-bener menjadi tempat wisata. Pemandangan di depan saya seperti sedang Ied Qurban, hanya saja di sini yang bergelimpangan bukan sapi dan kambing. Melainkan Kerbau dan Babi -_-.  Puas melihat-lihat prosesi kematian dan menikmati suguhan yang disediakan (demi sopan santun saya harus memakannya, mereka bahkan mengatakan 'ini halal kok'), kami melanjutkan perjalanan
Berbicara tentang Toraja, ini adalah kali pertama saya pergi ke Toraja dan ini akan menjadi trip nekat saya yang lainnya. Ya saya punya kebiasaan nekat ketika trip, namun ini pertama kalinya saya mengorbankan seorang teman dalam perjalanan nekat saya hehe. Satu-satunya pedoman saya ketika ke Toraja hanyalah info trip yang di share di WAG Backpacker Jakarta (BPJ), dan itu berhasil (Terima Kasih BPJ). Lolai dan Ollon menjadi wishlist gue sedangkan Len lagi-lagi hanya follower, kemudian selama perjalanan kita berbagi tugas. Len yang menyetir dan saya yang menunjukkan arah dengan berkiblat kepada Google Map. Maka setelah wisata ngelayat, kami  mengunjungi Kete Kesu dilanjutkan ke Lomo dan Londai. Sore hari kami menuju Lolai karena malamnya kami akan menginap di sana, agar besok pagi bisa melihat sunrise dan kumpulan awan yang mengagumkan.

Dan keputusan untuk bermalam di Lolai itu ternyata keputusan yang tepat. Karena ternyata waktu terbaik untuk melihat kumpulan awan itu pada pukul 7 pagi, dimana saat itu orang-orang sudah meninggalkan Laloi sedangkan kami masih berada di sana untuk merapikan tenda.
Pergi ke Ollon adalah pengalaman yang paling ingin saya ceritakan kali ini, dan saya sangat bersyukur bahwa Len adalah partner travelling saya saat itu. Ollon itu adalah satu wilayah yang sangat indah namun memiliki akses perjalanan yang sangat sulit dan lokasinya tidak terdapat di Google Map. Perjalanan kami dari Toraja ke Ollon memakan waktu 4 jam lebih dengan medan yang sangat sulit dilalui jika menggunakan motor matic. Sebelum masuk Ollon terdapat tulisan ‘Ollon ±10 Km’ Namun 10 km tersebut kami lalui selama 1 jam lebih, kebayang kan bagaimana rute yang harus kami lalui. Bahkan ada masanya saya harus turun dari motor karena jalanan yang terlalu curam atau motor kami yang terpaksa harus melewati sungai. Belum lagi kondisi kami berdua yang masing-masing membawa keril, duh makin menambah beban perjalanan. Namun usaha tidak akan mengkhianati hasil, karena pemandangan di Ollon benar-benar indah. Teramat sangat indah. Saya merasa seperti sedang berada di Selandia Baru.
Len yang sell saga kepanasan
Menginap di Ollon satu malam, berburu sunrise dan kami melanjutkan perjalanan. Saya melihat di postingan Instagram salah satu teman tentang lokasi wisata yang terdapat ayunan yang menghadap ke tebing. Pemandangannya sangat indah dan menguji adrenalin. Maka saya mengajak Len ke sana, dan lagi-lagi dia ikut saja. Dari Ollon ke Enrekang kami harus menempuh perjalanan selama 3 jam. Itu perjalanan yang lebih berat lagi karena kami sama sekali tidak tahu lokasinya, berkali-kali kesasar walau sudah menggunakan  Google Map, udara yang sangat panas dan kami kelaparan sedangkn tidak menemukan warung makan. Sampai akhirnya kami menemukan warung, kami akhirnya makan di sana. Si Ibu warung memasak Indomie, ah dia bahkan tidak memasaknya, hanya mencelupkannya ke air panas hahahaha.

Akhirnya kami sampai di Enrekang, di tempat ayunan itu berada. Namun ternyata lokasi wisata itu sudah tidak ada lagi, kabarnya sudah pindah. Hanya terdapat seutas tali webbing yang diikat di sebatang pohon, tanpa pengamanan. Saya hanya melihat tanpa berani naik. Kemudian Len berkata,’Just try, if you fall you die’dan saya hanya mendelik. Melihat saya tidak merespon Len mencobanya sendiri, dan dia sangat menikmatinya. Demi melihat dia yang sangat menikmati berada di ayunan tali tersebut, saya pun minta gentian. Awalnya degdegan, lama-lama gamau turun hahahahaha.
Selesai dari Enrekang, kami kembali lagi ke Toraja untuk mengembalikan motor dan kembali pulang ke Makassar. Hari itu adalah hari terakhir kami ke Toraja, karena malamnya kami akan melanjutkan perjalanan ke Makassar. Ntah apes atau kurang sedekah, malam itu di bus menuju Makassar saya kehilangan hape saya berikut foto-foto saya selama dua bulan di Maluku dan 3 hari di Toraja dan Makassar. Syukurlah ada Len yang rajin mengabadikan moment saya di hapenya, jadi beberapa moment saya di Makassar dan Toraja masih aman di handphonenya. Selama 10 hari full travelling bersama Len saya baru sadar akan satu hal, punya partner travelling itu ternyata seru juga. Tapi pastikan kita cocok dengan partner travelling kita hehehe.