Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu,
Jawa Tengah,
7 Januari
1905 – meninggal
5 September
1962 pada umur 57 tahun)
adalah seorang ulama
karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya
pada tahun 1949.
Sejarah hidup
Pada tahun
1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan
politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk
pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan
mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki
kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. [1]
Pada umur 8
tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse
(ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat
tahun kemudian, ia masuk ELS
di Bojonegoro
(sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang
memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro,
Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh
Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan
pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat
memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.[2]
Setelah lulus
dari ELS
pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi
Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.Pada masa ini, ia mengenal
dan bergabung dengan organisasi Syarikat
Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal
di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus
sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto
sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang
oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai
orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang
tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische
Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki
buku sosialis dan komunis.[2]
Karir
S. M.
Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat
tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk
Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan
politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk
memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik
pihak nasionalis lewat artikelnya.[1]
Kariernya
kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari
Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara
Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi
Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong.
Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite
Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut
Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan
oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang
tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama
dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala
tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri
terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun
berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu
sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan
pemerintah Kolonial.[1]
Masa perang kemerdekaan
Pada masa
perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap
kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika
ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long
march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu
merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit
wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi
menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Negara Islam Indonesia
Kekecewaannya
terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara
Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus
1949. Tercatat beberapa
daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi
Selatan dan Aceh.
Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk
menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah
melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat
pada 4 Juni
1962. Pemerintah Indonesia
kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada September 1962.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar